Jumat, 26 Februari 2010

KEWARGANEGARAAN

TUGAS KEWARGANEGARAAN













NAMA : MUHAMMAD SYAMIR
NPM : 31108370
KELAS : 2 DB07

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Tuhan yang telah menolong hamba-Nya menyelesaikan makalah ini dengan penuh kemudahan. Tanpa pertolongan Dia mungkin penyusun tidak akan sanggup menyelesaikan dengan baik.
Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang HAM(Hak Asasi Manusia), yang di sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber. Makalah ini di susun oleh penyusun dengan berbagai rintangan. Baik itu yang datang dari diri penyusun maupun yang datang dari luar. Namun dengan penuh kesabaran dan terutama pertolongan dari Tuhan akhirnya makalah ini dapat terselesaikan.
Makalah ini memuat tentang “HAM” yang sangat sering tidak di ketahui oleh orang lain. Walaupun makalah ini mungkin kurang sempurna tapi juga memiliki detail yang cukup jelas bagi pembaca.
.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca. Walaupun makalah ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Penyusun mohon untuk saran dan kritiknya. Terima kasih.




Jakarta, february 2010

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……………………………………………………………….1
Kegagalan Negara dan Potret Buram Kebebasan Beragama di Indonesia…………………………….3
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………..7



























Kegagalan Negara dan Potret Buram Kebebasan Beragama di Indonesia

Penegakan hak-hak sipil keagamaan di Indonesia masih merupakan suatu cita-cita yang masih sulit untuk diwujudkan. Meskipun telah ada jaminan hukum atas prinsip kebebasan beragama, namun kenyataan menunjukan bahwa masih sering terjadi pelanggaran atas prinsip kebebasan beragama. Bahkan, tidak jarang negara sendiri justru yang terancam dikenai tuduhan melakukan crime by omision karena membiarkan terjadinya berbagai bentuk pelanggaran tersebut.

Negara adalah pihak pertama yang pantas dipersalahkan atas terjadinya berbagai bentuk pelanggaran atas prinsip kebebasan beragama beberapa tahun belakangan. Pelarangan terhadap kelompok ‘Shalawat Wahidiyyah’ pimpinan Acep Zamam Noer beberapa waktu lalu di Tasikmalaya oleh Pemerintah Daerah setempat menujukan bahwa negara telah gagal menjadi pelindung dan penjamin prinsip kebebasan beragama. Kasus ini merupakan bagian dari rentetan kejadian lain yang menunjukan rentannya keberadaan kelompok-kelompok agama atau keyakinan minoritas dari serangan kelompok agama mayoritas. Kasus-kasus lain yang menimpa kelompok-kelompok seperti Ahmadiyyah di Bogor dan hampir seluruh penjuru negeri, Lia Eden di Jakarta, ‘Salat Dua Bahasa’ di Malang, ‘Salafi’ di Lombok, dan ’Salat Bersiul’ di Sulawesi Selatan, menunjukan kegagalan negara dalam memberikan jaminan dan perlindungan atas prinsip kebebasan beragama di Indonesia.

Padahal, dilihat dari perspektif hukum dan perundang-undangan, prinsip kebebasan beragama telah tercatat sebagai bagian dari hak-hak sipil warga negara (civil rights) yang wajib dijamin dan dilindungi oleh negara. Jaminan hukum dan undang-undang dimaksud adalah: pertama, Pasal 28 (e) ayat 1 dan 2 UUD 1945 (hasil amandemen) yang menyebutkan bahwa: 1) “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali;” 2) “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.” Hal ini masih diperkuat lagi oleh Pasal 29 yang berbunyi: 1) “Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa;” 2) “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.”

Kedua, Undang-undang (UU) RI No. 39 tahun 1999 tentang Hak-hak Asasi Manusia (HAM), terutama Pasal 22, menyebutkan bahwa: 1) Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu;” 2) “Negara menjamin kemerdekaan setiap orang untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Selain itu, juga terdapat dalam Pasal 8 yang berbunyi: “Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan Hak Asasi Manusia menjadi tanggung jawab negara, terutama pemerintah.”

Ketiga, UU No. 12 tahun 2005 tentang pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik). Dengan meratifikasi ICCPR tersebut, Indonesia berarti terikat untuk menjamin: Hak setiap orang atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama serta perlindungan atas hak-hak tersebut (Pasal 18); Hak orang untuk mempunyai pendapat tanpa campur tangan pihak lain dan hak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat (Pasal 19); Persamaan kedudukan semua orang di depan hukum dan hak semua orang atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi (Pasal 26); dan tindakan untuk melindungi golongan etnis, agama atau bahasa minoritas yang mungkin ada di negara pihak [negara yang terlibat menandatangani kovenan internasional tersebut] (Pasal 27).

Sungguhpun demikian, pada praktiknya, jaminan atas prinsip kebebasan beragama dalam sistem perundang-undangan di Indonesia ini masih belum terimplementasi dengan baik. Dalam hal ini, negara (pemerintah) tidak memiliki keinginan politik (political will) yang kuat untuk menciptakan situasi dan kondisi yang kondusif bagi kehidupan beragama yang bebas, toleran dan saling menghargai antara satu pemeluk agama dengan lainnya. Bahkan, yang paling menggelikan, negara masih membiarkan terjadinya kontradiski hukum dan perundang-undangan terkait dengan prinsip kebebasan beragama. Berikut adalah produk hukum dan undang-undang yang jelas-jelas bertentangan dengan prinsip kebebasan beragama.

Pertama, Surat Keputusan Bersama (SKB) dua menteri (Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri) No. 1 tahun 1979 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penyiaran Agama dan Bantuan Luar Negeri kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia. Dalam SKB ini, khususnya Pasal 4, yang tidak lain adalah pengulangan dari SK Menag No. 77 tahun 1978, terdapat indikasi tindak diskriminasi yang sangat menguntungkan kelompok agama mayoritas (baca: Islam).

Kedua, UU No. 1/PNPS/1965 yang menyebutkan (Pasal 1) bahwa di Indonesia ada 6 agama yang hidup, yaitu: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu. Meskipun demikian, dalam Surat Edaran (SE) Menteri Dalam Negeri No. 477/74054/BA.012/4683/95 tanggal 18 November 1978 yang antara lain menyatakan bahwa agama yang diakui pemerintah adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha. Karenanya, Konghucu secara jelas telah diekslusi sebagai agama yang eksistensinya diakui pemerintah. Hal ini berakibat pada tidak diakuinya hak-hak sipil para pemeluk agama Konghucu di Indonesia. Misalnya saja, Kantor Catatan Sipil tidak mau mencatat perkawinan orang-orang yang beragama Konghucu. Selain itu, anak-anak mereka tidak memperoleh pendidikan agama Konghucu di sekolah-sekolah. Mereka juga tidak diizinkan merayakan hari-hari keagamaannya. Terkait dengan pemeluk agama Konghucu ini, patut disyukuri bahwa hak-hak sipil mereka telah dipulihkan kembali pada masa pemerintahan KH. Abdurahman Wahid dengan dikeluarkannya Keppres No. 6 tahun 2000 yang mencabut Inpres No. 14 tahun 1967 tersebut.

Kalau dilihat dari perspektif hirarki hukum, SKB dua menteri no. 77 tahun 1978 sebenarnya sudah gugur dengan sendirinya menyusul telah diratifikasinya DUHAM dan ICCPR tersebut di atas dalam sistem perundang-undangan di Indonesia. Hanya saja, UU tentang DUHAM dan ICCPR ini belum bisa menggugurkan UU No. 1 tahun 1965 tentang 6 agama resmi yang diakui negara mengingat keduanya memiliki tingkat hirarki yang sama sebagai undang-undang. Karenannya, sangat mendesak untuk dibuat undang-undang baru yang lebih pro-kebebasan beragama. Sebab, kalau tidak, penyebutan 6 agama resmi dalam UU no. 1 tahun 1965 jelas sangat diskriminatif bagi kelompok-kelompok minoritas lainnya yang tidak diakui sebagai agama resmi seperti para pengayat atau penganut aliran kepercayaan, serta agama-agama lokal yang belum mendapatkan hak-hak sipil keagamaanya sebagai warga negara.

Agar amanat UUD 1945, DUHAM dan ICCPR tentang kebebasan beragama tersebut bisa terlaksana dengan baik, seluruh komponen masyarakat di Indonesia bersama pemerintah harus secara bersama-sama merumusakan konsep dan ruang lingkup kebebasan beragama untuk kemudian ditindaklanjuti dengan pembentukan Undang-undang tentang Kebebasan Beragama. Sebab, bagaimanapun juga, diperlukan adanya payung hukum dan perundang-undangan yang dapat menjadi pijakan bagi penegakan hak-hak sipil keagamaan yang sepenuh-penuhnya di negeri ini.

Menurut hemat saya, Undang-undang Kebebasan Beragama dimaksud sejatinya bisa menjamin beberapa hal. Pertama, kebebasan untuk beragama dan berkeyakinan. Hal ini juga harus dipahami sebagai kebebasan untuk tidak beragama. Kedua, kebebasan untuk berpindah agama sesuai dengan hati nurani masing-masing warga, tanpa paksaan siapapun juga. Ketiga, Kebebasan untuk menikah di antara pemeluk agama yang berbeda. Keempat, kebebasan untuk menyampaikan agama (dakwah atau misi) tanpa paksaan dan kekerasan. Hanya saja perlu dicatat di sini bahwa kata agama dalam prinsip kebebasan beragama dimaksud mencakup pula kelompok pengayat atau penganut aliran kepercayaan, serta agama-agama lokal.

Akhir kata, ketiadaan Undang-undang Kebebasan Beragama akan berimplikasi pada sulitnya upaya-upaya penegakkan hak-hak sipil keagamaan di negeri ini. Jika hal ini terus ditunda-tunda, maka fenomena kegagalan negara masih akan berlanjut di mana masa depan kebebasan beragama di Indonesia masih akan tampak seperti sebuah potret buram























DAFTAR PUSTAKA
.GOOGLE.COM
.KOMPAS.COM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar